Adalah ungkapan yang paling nge-tag (meminjam istilahnya Pak Aris) bagi saya dari sesi Forum Diskusi Orangtua Piwulang Becik malam ini. Ini adalah salah satu alasan saya dan suami memutuskan untuk sering-sering pulang dalam waktu lama ke Indonesia. Karena ingin membiasakan anak-anak dengan lingkungan yang less sterile, unlike negara tempat anak-anak lahir, Singapura. Disini, kami terlalu dimanjakan dengan kenyamanan dan keamanan sistem di hampir semua aspek.
Saya masih ingat awal-awal kami sering mengajak anak-anak pulang ke Indo, pasti adaaaaa saja kejadian, seperti diajak makan di pinggir jalan, terus pulang-pulang kena diare lah, kulit totol-totol kena gigit nyamuk lah (nyamuknya tau aja darah impor), kena DB lah, dan lain sebagainya, yang kalau mau dipikir-pikir, ngapain juga anak-anak diajak “tidak nyaman”? Tapi saya masih percaya naluri, bahwa anak-anak kami perlu merasakan ketidaknyamanan, supaya mereka lebih menghargai kenyamanan. Dan setelah dipikir-pikir lagi sekarang, hal inilah yang memberi warna bagi proses belajar anak-anak kami. Tidak monoton, dan sangat dinamis, karena hidup ini memang sejatinya dinamis, tidak statis. Jadi kangen pulang …
Lalu muncul pertanyaan dari salah satu orangtua, “bagaimana cara melatih street smart ke anak-anak?” Yang kemudian dijawab santai, dan lagi-lagi nge-tag banget, oleh Pak Aris, “yah sering-sering dibawa ke jalanan” hahaha!
Jadi apa sih street smart itu? Kalau saya dulu taunya istilah streetwise, hasil baca bukunya Gordon Myers Common Sense for The Real World beberapa tahun yang lalu. Intinya tentang bagaimana kita survive dalam menghadapi berbagai polemik sehari-hari di mana saja kapan saja dengan segala keterbatasan. Life Hack kalau bahasanya Max. Life skill kalau bahasa tren kekiniannya. Dan untuk melatih skill ini, yah satu-satunya cara adalah memang harus mengalami langsung, sering terpapar dengan permasalahan-permasalahan, dan berani mencoba menemukan jalan keluar yang less regrettable, karena memutuskannya tidak emosional, melainkan rasional. Kalaupun akhirnya keputusannya itu adalah yang terburuk, yah tidak apa-apa. Justru mungkin saja itu bisa menjadi moment yang nge-tag buat dia. Nah inilah tantangan yang sebenarnya! Bagaimana kita sebagai orangtua bisa membekali anak-anak kita supaya mereka berani dan yakin dalam membuat keputusan yang paling efektif dan/atau least regrettable.
Pas kebetulan baru-baru ini saya selesai membaca buku berjudul Boy Mom-nya Monica Swanson. Buku ini tentang masa peralihan anak laki-laki ke usia remaja. Hal-hal apa saja yang mereka butuhkan dari kita sebagai orangtua. Karena beda fase kehidupan, tentunya beda kebutuhan. And I do still have a lot to learn about this.
Ada satu poin yang saya ingat sekali dan paling nge-tag dari buku ini, in which I do feel relate to the core banget! Chapter-nya waktu itu tentang bagaimana membangun moral compass untuk anak supaya bisa terbawa terus hingga mereka dewasa nanti. Dan di buku itu disebutkan bahwa salah satu hal yang dibutuhkan oleh anak adalah guidance orangtua (terutama ibu) dalam bentuk kecerewetan. Bahwa dengan intensitas dan kaidah-kaidah kecerewetan yang baik dan benar, akan dapat meninggalkan bekas pada alam bawah sadar si anak, yang jika di kemudian hari ia menghadapi sebuah polemik/dilemma, suara-suara kecerewetan yang selama ini menempel at the back of his/her head itu akan muncul di benaknya, yang kemudian akan ia jadikan weighting factor dalam membuat keputusan. And this statement resonates in me in so many ways! Karena saya sering mengalami ini, and come to think of it, berkat suara-suara sumbang orangtua saya (terutama Alm. Ayah) itulah saya masih bisa selamat dari keputusan-keputusan yang deeply regrettable, even until now. Cerewet yang spiritual kalau istilahnya Pak Aris, inilah salah satu cara nge-tag anak-anak kita.
Sempat ada pertanyaan dari ortu yang lain, “apakah ada bedanya cara kita cerewetin anak laki-laki dengan anak perempuan?” Sebenarnya saya mau menjawab, menurut saya tentu ada bedanya. Tapi bukan perbedaan karena persoalan gender, melainkan karena persoalan individu. As we all know, setiap anak itu unik. Jadi saya meyakini, jangankan beda gender, beda individu saja perlakuan kita juga sudah pasti berbeda.
Lingkungan dan teladan juga menjadi faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak dalam membuat segala keputusan dalam hidupnya kelak. Kalau mau dikaitkan dengan bukunya Hans Rosling, Factfulness, maka ungkapan “it takes a village to raise a kid” itu sangat tepat sekali. Studi yang dijadikan bahan pembandingnya adalah tingkat kematian anak-anak negara-negara western dan negara Asia, seperti Malaysia, yang ternyata di negara-negara Asia angkanya jauh lebih kecil dibanding negara-negara western. Karena faktor lingkungan negara-negara Asia yang masih menganut pola co-parenting, alias penitipan anak gratisan berlabel Rumah Nene, Rumah Uwak ataupun Rumah Tetangga. Konsep gotong royong yang lebih dulu diwariskan oleh leluhur kita inilah yang membuat anak-anak lebih bisa survive. Dari sinilah anak-anak dapat belajar dari siapa saja kapan saja, bergotong royong menebar kebajikan.
FYI, sebenarnya topik diskusi malam ini adalah tentang Factfulness, Hans Rosling dan film dokumenter Social Dilemma, tapi malah ngalor ngidul kemana-mana. Paling tidak kita pakai istilah keren di dunia sosmed ya: nge-tag hahaha! Ini juga membuktikan bahwa inspirasi datangnya bisa dari mana saja. Dan saya tidak sabar menunggu Forum Diskusi selanjutnya. Semoga semakin banyak teman-teman yang berbagi pengalaman dan inspirasi, because sharing is caring 🙂